Haiiii.... Mungkin ini buat pertama kalinya kali ya aku nyapa kalian, hehe. Kalo ada yang baca sih. Sebenernya ini gak mau aku upload, karena jujur ini bukan yang udah aku revisi trus aku kumpul ke guru, maklum ya kalo berantakan. Tapi sengaja juga sih posting yang ini, harapannya aku bisa kasih sedikit gambaran aja buat cerpen, karena emang cerpen itu beda dari novel. Jadi kita gak bisa bikin cerita yang panjang. So, gampangannya aja ya bikin kek gini, aku bikin kalo ini tuh cuman flash back nya si Airin. Udah itu aja. Thank you guys buat waktunya mampir ke lapak ini. Lobe you.....
Sehunus Temu & Sebilah Pisah
Karya : Widyani Putri ( XI MIA E /
34)
Sore itu, di XI IPA 3, rintik demi rintik air mulai
menyapa, angin mulai gelisah, dan dia hanya terdiam menikmati dentuman yang
tercipta.
“Pulang duluan ya, Rin” sapa teman sebangkunya.
“Ya, hati – hati, Din” jawabnya.
Kini, hanya ada dia seorang di dalam kelas itu setelah
semua teman sekelasnya pulang. Sesekali dia menghela nafas. Setelah lama
terdiam dia mencopot nametagnya,
“Airin Liliana” itu yang tertulis di sana. Airin memasukkan benda itu dalam
kotak pensilnya. Dia memasukkan perlengkapan sekolahnya ke dalam tas dan
berlari untuk segera mencapai rumahnya.
“Assalamu’alaikum, Bu. Airin pulang”
Airin membuka pintunya dan kembali menghela nafas. Tidak
ada seorangpun di ruang tamu, pasti ibunya sedang pergi bekerja. Dia melepas
sepatu dan kaos kakinya. Basah. Itu
yang dia rasakan saat menyentuh kain sepatunya. Dia menembus hujan agar bisa
pulang, tapi tak ada yang menunggunya di rumah. Lucu sekali. Ibunya itu lagi –
lagi tak menepati janji.
Perlahan matahari mulai turun, senja bergulir dan bulan
menaiki singgahsananya. Di bawah remang – remang cahaya bulan purnama malam
itu, Airin duduk di meja belajarnya menghadap jendela. Indah. bisiknya dalam hati. Dia kagum pada keindahan langit malam
walau sudah sering melihatnya, sama halnya dia yang suka sekali terdiam tanpa
pernah merasa bosan.
Dalam lamunan, ia teringat kembali. Pada kedua
sahabatnya, yang iapun tak tau harus ia sebut apa mereka sekarang.
Hari itu, matahari bersinar terik. Airin duduk di bangku
paling depan saat hari pertama masuk SMP, menatap buku ensiklopedi yang
sepertinya lebih menarik ketimbang teman – teman barunya. Disanalah mereka
bertemu.
“Hai, aku Denisa. Boleh duduk bersamamu?” Tanya gadis
berambut panjang yang dikuncir kuda lengkap dengan senyum ramahnya.
“Hmmmm” Airin menjawabnya dengan gumaman tanpa menoleh
pada Denisa. Lagi – lagi ensiklopedi miliknya lebih menarik ketimbang gadis sok
kenal yang berniat duduk di sampingnya.
Merasa Airin takkan menoleh padanya atau memberi jawaban
lebih, Denisa memilih tetap duduk sambil tersenyum masam. Tahan Denisa, ini hari pertama. Kamu akan diusir kalau memaki teman
sebangkumu. Ingat kata Ibu, selalu tersenyum. Batin Denisa seakan
menenangkan sisi lain dirinya yang akan segera keluar. Dia tersenyum kembali
“Boleh aku tau namamu? Ibuku di rumah pasti akan
menanyakannya nanti. Jadi….”
“Airin” jawab Airin singkat, memotong ucapan Denisa.
Denisa memilih tetap tersenyum. “Okay, mungkin kamu tak mau terlalu dekat denganku. Tapi lihat saja
seminggu ke depan. Kamu pasti menempel padaku. Bahkan mungkin nanti kamu akan
minta kutemani ke toilet” ucap Denisa penuh percaya diri. Airin tetap fokus
pada bukunya.
“Ahh. Apa kamu begitu menyukai Thomas Alva Edison sampai
mengabaikanku? Dia hanya membuat lampu. Tapi di sini aku yang akan
menerangi masa SMP-mu. Jadi mari kita
berteman” ucap Denisa mengalihkan pembicaraan yang menurutnya akan membuat
Airin tertarik.
“Ya, mari kita berteman” jawab Airin sekenanya. Airin
sebenarnya menyukai Denisa walau ia belum pernah memiliki teman. Dengan
sikapnya yang angkuh dan wajahnya yang judes, semua orang akan malas
menyapanya. Ditambah sepertinya Denisa cukup pintar dan mungkin akan nyambung
jika berbicara dengannya. Berbicara ya, entahlah bagaimana cara Airin akan
bicara nantinya.
“Kalau begitu, ayo temani aku ke toilet!”
Airin mengalihkan pandangannya pada teman sebangkunya.
Menatapnya dari atas sampai bawah. Sementara yang ditatap hanya meringis karena
merasa canggung. Ahh sepertinya aku salah
bicara, dia akan membencimu, bodoh! Batin Denisa berteriak.
“Ya, ayo!” Airin langsung menutup bukunya dan berdiri.
Denisa masih tercengang, tak menyangka akan jadi begini reaksi teman
sebangkunya itu. Airin menepuk – nepuk roknya yang kusut, lalu berjalan keluar
kelas. Denisa tersadar, dia langsung bangkit dan mengikuti Airin.
Awal perkenalan yang menjadi dimulainya kisah ini. Kisah
yang telah tercatat oleh waktu yang telah berlalu. Hanya saja udara tetap
membisu menjadi saksinya. Dalam hati, Airin merapal mantranya. Ia takut.
Baginya mencoba mengenal seseorang adalah memberi peluang agar dirinya
terluka.
Waktu mungkin saja telah berlalu. Namun, Airin masih saja
sama. Baginya waktu tidak akan mengubahnya begitu saja. Airin mengedarkan
pandangannya ke seisi kelas, ia merasa bosan dengan guru PKn yang hanya
bercerita kian kemari. Terdengar seperti gosip bagi Airin. Sesuatu yang
sebenarnya tidak perlu dibahas pada jam pelajaran. Itulah yang ia pikirkan
ketika mendengarkan kasus – kasus hukum melilit para selebriti dari guru wanita
yang sudah berumur itu. Airin mengalihkan pandangannya ke belakang sambil
bersandar sedikit di tembok. Di sana, tepatnya di bangku paling pojok belakang,
ada satu siswi yang sama sepertinya. Namun, berbeda dari Airin. Dia tampak
terganggu dengan kemampuan bergaulnya yang kurang. Tak seperti Airin yang
memang sengaja melakukannya. Dari pagi sampai pulang sekolah, dia hanya akan
duduk di tempatnya. Mungkin juga tak berpindah seinchi pun. Gadis dengan rambut
sebahu yang menutup wajahnya jika dia menunduk. Terasa aneh namun juga
misterius, tapi bagi Airin gadis itu terlihat menyembunyikan tekanan yang entah
ia dapat darimana. Irina, nama gadis itu.
Hari itu Selasa, hari yang sama dengan selasa selasa yang
lain. Entah baru menyadarinya, atau memang sudah saatnya. Airin, Denisa, dan
Irina terjebak dalam ruang sempit itu, bersamaan dengan suara kursi yang
berdecit menggesek lantai, serta gerakan sapu yang mengalihkan debu dari
tempatnya semula. Harusnya ada 3 orang lain yang piket hari itu, hanya saja
Maya, perempuan lain yang piket hari itu sakit. Sedangkan 2 anak lainnya
langsung kabur saat bel pulang berbunyi.
Denisa mengambil
inisiatif untuk mengambil kain pel dan pewangi lantai. Ya, mereka akan mengepel.
Tadi pagi hujan dan sekarang lantainya sangat kotor. Akibatnya hanya ada Airin
dan Irina saja di kelas, saling terdiam bahkan mungkin Airin sengaja
mengabaikan dia. Lama sekali Denisa, aku
harus cepat pulang, gerutu Airin sedari tadi.
Beberapa saat kemudian Denisa datang dengan tergopoh –
gopoh mengangkat ember yang lumayan besar dan berisi air. Tubuh Denisa kecil,
ia tak kuat mengangkatnya walau ember itu hanya berisi setengahnya. Ditambah
alat untuk mengepel yang membuatnya semakin repot. Dia membanting ember itu di depan pintu.
Membuat Airin dan Irina kompak menengok ke arahnya.
“Bodoh. Di
mushola kan ada kran, kenapa membawa air dari sana” cetus Airin
“Ahh benar juga.
Kenapa tidak bilang dari tadi? Ini sangat merepotkan.” ucap Denisa
“Kau saja yang
bodoh. Harusnya kau sudah tau tanpa perlu aku beritahu”
“Apa tidak bisa
mengatakannya lebih halus sedikit? Lain kali kau saja jika kau merasa paling
bisa.”
Airin memilih
diam saja, karena Denisa pasti tidak mau berhenti bicara. Sedangkan Irina hanya
memperhatikan mereka berdua berbicara, tidak berani untuk ikut ke dalamnya.
Setelah mengatakan itu Denisa melanjutkan membawa embernya masuk dalam kelas.
“Kalian tidak
berniat membantu…. Ahhhh”
Ucapan Denisa terhenti diikuti bunyi ‘gedebuk’
setelahnya. Denisa terpeleset air yang menetes dari embernya. Dia jatuh
terjengkang dan air itu tumpah mengenai badannya. Dia ternganga dengan ekspresi
yang tidak elit sama sekali, ditambah reaksi tak terduga Airin. Airin tertawa
terbahak – bahak, tidak ada niatan untuknya membantu Denisa bangun. Sementara
Irina, berjalan ke arah Denisa dan membantunya berdiri. Seketika Denisa
mendelik sengit ke arah Airin yang belum berhenti tertawa. Namun Denisa kembali
luluh saat Airin menawarinya baju ganti.
Mereka bertiga berjalan menuju toilet saat tiba – tiba
hujan turun dengan deras. Melihat hal itu Denisa tersenyum senang. Dia melempar
baju ganti yang Airin berikan tadi ke bangku di koridor lalu menarik tangan
Airin dan Irina ke tengah hujan. Airin ingin kembali tapi Denisa menahannya.
Entahlah, melihat Irina yang terlihat bahagia saat itu ditambah senyum Denisa
yang tak memudar, Airin ikut menikmati hujan.
Sebuah permainan hujan, saat menyambut kedatangannya.
Siapa yang tahu
jika itu adalah awalnya, dimana mereka semua menjadi dekat. Bersahabat karena
pewangi lantai dan turunnya hujan. Mereka ingin yakin jika senyuman itu akan
bertahan selamanya. Seperti di akhir buku dongeng ‘mereka hidup bahagia
selamanya’. Tapi berapa lama tenggang waktu sebuah ‘selamanya’?
“Airin, kamu
sudah pulang, Nak?” Tanya ibu Airin mengaburkan lamunannya. Wanita itu berdiri
di dekat pintu kamar Airin. Senyumnya terlihat walau wajahnya nampak lelah.
Airin menoleh
lalu mengangguk dan tersenyum tipis pada ibunya. Ibunya itu terlalu lelah hanya
untuk berbicara dengannya. Ayahnya bukanlah orang yang bertanggung jawab, jadi
dia hanya tinggal bersama ibunya sekarang. Seorang anak tunggal dan ibunya.
Mereka hanya memiliki satu sama lain. Dan ibunya harus berjuang sendiri untuk
mencukupi kebutuhan mereka yang semakin bertambah.
“Ayo kita
belajar masak sesuai janji Ibu. Maaf, Ibu tak bisa pulang lebih awal dari ini”
ucap Ibunya menatap lembut Airin.
Lagi - lagi
Airin hanya mengangguk maklum. Airin beranjak dan mengikuti ibunya ke dapur.
Sederhana memang, bukan seperti sebuah quality
time ibu – ibu sosialita dengan anaknya. Hanya seorang ibu dan anak
tunggalnya. Jikalau waktu adalah yang kita butuhkan untuk saling mengenal,
mengerti, dan memahami. Untuk apa jarak menyertai? Untuk apa pergi terlalu jauh
hingga tak bisa bersantai atau sekedar bersandar bersama di sofa dengan acara
televisi?
Di dapur, mereka
berdua memulai memasak makan malamnya walau jam menunjukan pukul 20.00 WIB.
Entah darimana jalannya, memasak mengingatkan Airin kembali pada kedua
sahabatnya.
Saat dimana hari
kelulusan tiba, Airin dan dua sahabatnya itu memutuskan untuk saling menginap.
Di rumah Denisa itu, hanya mereka bertiga di dapur. Orang tua Denisa memang
jarang di rumah. Itu salah satu alasan kenapa mereka memilih rumah Denisa untuk
menginap.
Wajah mereka
menyiratkan kesedihan, bahkan Denisa berpura – pura mengiris bawang karena tak
bisa menahan air matanya. Persahabatan mereka mungkin akan segera berakhir.
Tidak satupun dari ketiganya yang bersekolah di sekolah yang sama, artinya
mereka juga tidak lagi ada di kelas yang sama. Mereka sadar akan perpisahan
itu. Ingin rasanya mengatakan jika tak akan ada hal yang berubah. Tapi seperti
waktu yang mempertemukan mereka, kini waktu juga telah berusaha memisahkan
mereka. Tidak akan ada pula kepastian seperti ‘tak akan ada hal yang berubah’
suatu saat.
Akankah mereka
tetap bisa saling bertemu jika jarak sudah turut menghalangi? Akankah mereka
masih sering menghubungi dimana tugas tidaklah lagi menjadi alasan untuk
sekedar saling mengirim pesan? Dan yang paling penting, akankah mereka tak akan
canggung setelah lama tak bertemu? Bisakah mereka menahan keegoisan masing –
masing untuk tetap saling memahami?
Mereka yang
biasanya makan sambil mengobrol kian kemari, kini tak terdengar lagi. Mereka
makan dalam diam. Tak tahu bagaimana caranya mengucapkan salam perpisahan
disaaat bukan kemauan mereka untuk berpisah secepat ini. Tak mengerti bagaimana
ekspresi yang tepat untuk mengungungkapkannya.
“A-aku sayang
banget sama kalian. Kalian harus selalu inget itu. Sebenernya aku belum mau
pisah begini, tapi hidup kan gak boleh stuck
gitu aja. Jadi ikhlasin aku pergi ya temen – temen” Denisa mengawali
pembicaraan. Dia yang terlihat paling sedih sedari tadi.
“Najis. Apaan tuh,
kaya mau mati aja” cetus Airin
“Isshhh Airin,
aku sedih tau mau pisah sama kalian” ucap Denisa manyun.
“Yaudah sih
jalanin aja. Katanya gak boleh stuck.
Lagian gak mungkin juga kan minta tinggal kelas trus ikut UN lagi tahun depan.
Udah lulus juga, dapet nilai keren lagi” balas Airin sesumbar.
“Itu sih kamu
yang nilainya bagus” Irina ikut bersuara.
Airin langsung
mengatupkan mulutnya, Irina memang tak mendapat nilai sebagus Airin dan Denisa
tapi tak bisa masuk kategori jelek juga. “Eh, aku gak ada maksud buat ngomong
gitu, Na” ucap Airin sedikit merasa bersalah. Bagi Irina yang dituntut untuk
sempurna oleh keluarganya, nilai jelek adalah suatu kecacatan dalam hidup.
“Hehe, iya aku
tau kok” ucap Irina nyengir.
“Ihh ngerjain
nih ceritanya. Awas ya! Tunggu pembalasan dari yang nilainya keren banget ini”
goda Airin pada Irina.
“Gaya lo kayak
udah berhasil nakhlukin dunia, Rin” cemooh Denisa.
“Harus dong,
liat aja suatu saat nanti seluruh dunia pasti takhluk juga sama aku” ucap Airin
kembali sesumbar.
Sebenarnya Airin
juga merasa kehilangan, tapi dia tak akan terus berlarut – larut dalam
kesedihan. Walau dia telah menyadari, jika diantara mereka, dia yang akan
merindukan keduanya pertama kali. Dia bukan orang yang mudah berteman, dia
cenderung tipe yang pasif dan introvert. Namun, yang membuatnya takut adalah
jika hidupnya kembali membosankan seperti dulu. Dia tidaklah pandai berkata –
kata.
Malam ini mereka
tertawa bersama. Larut dalam guyon yang selalu terjadi semakin sering disaat
ketiganya sudah makin dekat. Sejenak melupakan beban itu. Mungkin ini yang
terakhir, karena esok tak ada lagi alasan ‘kerja kelompok di rumah Denisa’
lagi.
Tawa itu tak
bertahan lama, semakin malam mereka semakin tersiksa. Semakin waktu itu berlalu
mereka semakin takut kehilangan teman yang mereka cintai.
“Den, aku tau
kamu orang yang supel. Kamu cantik, kamu pinter. Pasti kamu bakal nemuin temen
yang banyak disana. Tapi jangan lupain aku ya. Kamu juga, Rin. Jangan sendirian
lagi ya. Aku juga bakal nyoba buat lebih percaya diri” Irina mengatakan hal
yang ingin ia ucapkan dari tadi, di atas tempat tidur dengan cahaya remang
lampu duduk disebelahnya. Ia sedikit terisak saat itu. Denisa memeluknya dan
mereka menitikkan air mata bersama. Sementara Airin masih diam tak bergeming. Jangan sendirian? Apa ia mau bersama orang
lain lagi setelah tahu perpisahan sesakit ini? batin Airin meringis. Ia
lalu menghela napasnya, berharap hatinya sedikit terbebas dari cengkraman
menyakitkan.
“Huhh… cup cup
cup jangan nangis ya. Kalian gak mungkin aku lupain” ucap Airin sambil memeluk dua
temannya itu, berharap mereka akan tenang. Hatinya bergejolak, dia tak bisa
berpura – pura lagi. Sebutir air bening itu akhirnya jatuh juga.
“Jangan sampe
kita lost contact ya. Hiks.
Pokoknya….. harus saling ngabarin, hiks…. apapun yang terjadi” ucap Denisa di
tengah isaknya. Mereka semakin mengeratkan pelukannya.
Malam itu,
sebuah perpisahan. Dan mereka tak sanggup berpura – pura kuat lagi. Air mata
telah berbicara. Untuk sesaat mereka menunjukan ketidakrelaannya pada sang
waktu. Mereka berharap dan berdo’a agar Tuhan akan menggariskan takdirnya lagi
di antara mereka. Saling berusaha untuk tak saling melupakan.
“Airin kamu motong wortel kok sambil ngelamun,
itu tangannya nanti yang kepotong” suara lembut penuh kasih Ibunya lagi – lagi
mengembalikannya ke dunia nyata. Sorot matanya selalu sendu saat mengingat
perpisahan itu.
“Hah? Apaan?
Engga kok, Bu. Gak ngelamun” Airin berusaha menyangkal.
“Ngaku aja
kenapa, gitu aja gengsi” goda ibu Airin sambil tersenyum geli. Tak mau terlalu
ikut campur urusan anaknya jika bukan Airin yang meminta padanya.
Setelah acara memasak
dan makan malam berdua itu, Airin kembali ke kamarnya. Duduk di meja belajar
dan mulai membuka bukunya. Sejenak mengecek ponselnya, siapa tau ada pesan
masuk dari orang yang selalu ia harapkan. Malam
ini mereka tak menghubungi, mungkin malam esok keberuntunganku datang. Malam
ini aku hanya sedang sial dewi batin Airin menguatkannya setiap malam yang
terlewati tanpa pagi, siang, dan sore bersama Denisa dan Irina. Semenjak
pertengahan semester, Irina dan Denisa sudah jarang memiliki waktu untuk chatting dengannya. Mungkin mereka
sibuk. Kegiatan belajar mengajar pasti sudah efektif dibulan - bulan seperti
ini.
Denisa : Airinnn kangennn. Kapan kita bisa ketemu? :(
Pesan dari
Denisa membuat group chat mereka
bertiga di posisi teratas.
Denisa : Irinaaa kangennn banget sama kamuu. Disini
gak ada lagi yang kaya kamu :(
Airin hanya
tersenyum membaca pesan Denisa, belum berniat membalasnya. Rasa bahagianya
membuncah walau hanya dengan menatap tulisan hasil dari papan ketik Denisa di
salah satu aplikasi chat berbasis
internet. Tak lama Irina juga ikut mengirim pesan
Irina : IHH iyaa, susah nyari yang kaya kalian disini
:(
Airin : Di situ isinya orang miskin semua ya, na :v
Airin : Tumben all personil
nih
Irina : Bukan kaya yang seperti itu Airin :/
Denisa : Terus kaya apa? Kaya monyet :v
Airin : Monyet teriak monyet euy :v
Denisa :Airinnn oh Airinn.
Denisa : Sungguh aku merindukanmu
Irina : Setengah mati merindu
Denisa : Sungguh jika aku monyet, aku harap kamu
pisangnya
Airin : Ah Alay
Airin : Airin left group
Denisa : Denisa menambahkan Airin
Denisa : Ririn mah, orang lagi kangen dibilang alay
Irina : Iya kita tuh kangen, Rin. Hargai dong
Denisa : Duh, gak ada label harga na :v
Irina : Denisa mah dibelain malah nusuk dari belakang
Airin : Uhh, sakit hati adek bang :v
Irina : Airin alay
Denisa : Airin alay (2)
Malam itu
obrolan terus berlanjut. Sejenak bernostalgia tidak apa kan? Ah salah. Sekedar
saling menyapa sah – sah saja kan? Tidak merugikan kamu, kok.
Walau mungkin
kini kita telah memiliki teman baru, atau mungkin juga sahabat baru. Sahabat lama
akan selalu memberi kesan yang berbeda. Karena Tuhan menciptakan manusia secara
berbeda.
Mereka mungkin
telah dipisahkan jarak, dikerumuni lautan manusia, dan diselimuti waktu. Tapi
rasa rindu bukanlah hal yang tabu. Rindu itu akan terobati dengan bertemu,
bukan seiring berjalannya waktu.
Jika hidup ini
pilihan, maka jalan yang kamu tempuh adalah hidup yang kamu pilih. Akan ada
saatnya bertemu dan akan ada saatnya untuk berpisah. Tapi dimasa yang akan
datang, semuanya bergantung pada pilihanmu di hari ini.
______TAMAT_______
Tidak ada komentar:
Posting Komentar